Sejarah pembaharuan peradaban islam di nusantara

PUNYA LEMBAK - Suatu kenyataan bahwa islam dtang keidonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran islam di timur tengah yang dalam beberapa kasus. Disrtai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudin dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi. Oeh kaena itu, wjar kalau terjadiperbedaan pendapat tentang kpan, dari mana, dan dimana pertama kali islam datang kenusantara. Namun, secara garis besar perbedaan pendapat itu dapat dbagi menjadi sebagai berikut :


1.      Islam datang keindonesia pada abad ke- 13 M dari Gujarat (bukan dari arab langsung)dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama islam pertama malik as-Sholeh, raja pertama kerajaan smudraoleh, raja pertama kerajaan Smudra pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.

2.      Islam datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah ( abad ke-7 sampai 8) langsung dari arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat itetrnasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang menghubungkan Dnasti Tang di Cina ( Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.

3.      Sarjan Muslim kontemporer seperti Taufiq Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 atau ke-8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah dipelabuhan-pelabuhan. Barulah islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai.


PUSAT –PUSAT PEMBAHARUAN DI NUSANTARA
Polarisasi pemikiran dan pendapat tentang masuknya Islam di Indonesia telah terbentuk sejak para pakar sejarah Islam Indonesia melihat arti pentingnya Islam di Indonesia secara politik dan subtantif (nilai ajaran kegamaan). Kepentingan berdasarkan kepentingan politik akan menem-patkan pendapat dan pemikiran yang didukung, akan lebih tinggi nilai dan kontribusinya di-bandingkan dengan yang tidak mereka dukung, misalnya jika mereka bependapat bahwa Islam datang ke Indonesia dibawa oleh pedagang Guzarat, maka akan sedikit banyak memberangus peran politik dan ekonomi bangsa Arab. Demikian juga yang berkait dengan kepentingan subtantif ajaran ke-agamaan, maka yang nampak bahwa Islam tidak datang dari negara asal me-lainkan telah terjadi proses adaptasi yang lama dalam sikap dan prilaku pedagang Guzarat, demikian juga seterusnya. Dampak dari polarisasi pendapat dan pemikiran tersebut telah banyak ditulis di berbagai buku sejarah, dan sebagian dari kita ada mengikuti pendapat yang justru lebih menguntungkan kaum orientalis, dan untuk itulah maka dilakukan pengkajian ulang dalam bentuk “Seminar masuknya Islam ke Indonesia”, yang diadakan pada tahun 1958 dan 1963.
Secara umum pelemik pendapat tentang siapa atau dengan cara apa Islam masuk, terpolarisasi pada pendapat atau teori Gujarat, Makkah dan Parsi. Sedangkan polemik tentang kapan Islam masuk ke Indonesia terbagi menjadi 3 (tiga) pendapat, yaitu masuk pada abad VII, abad X dan abad XIII.

A. Teori Guzarat (India)
Teori Guzarat besar kemungkinannya dikembangkan oleh Snouck Hurgronje, sebagai upaya Snouck untuk mengelimir peran serta bangsa Arab dalam proses masuknya Agama Islam di Indonesia, apalagi ketika teori ini dikembangkan Snouck (Belanda) sedang menga-lami per-golakan militer rakyat Aceh. Secara umum teori Guzarat mengatakan bahwa asal dan pembawa agama Islam ke Indonesia adalah orang Guzarat India, yang sejak semula sudah mempunyai hubungan historis dengan Indonesia. Pandangan ini sangat jelas menafikan peranan Bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia, termasuk kemungkinan terjadi-nya percampuran ajaran agama Islam dengan agama Hindu, Budha dan Animisme.
Kebanyakan orang yang menganut teori Guzarat adalah sarjana Barat (orientalis) yang menginginkan target negatif tersendiri bagi umat Islam Indonesia. Tokoh-tokoh tersebut adalah :
Snouck Hurgronje
Islam berasal dan dibawa oleh para pedagang Guzarat India yang datang ke Indonesia. Snouck beralasan, bahwa :
a. Kurangnya fakta/data yang menyatakan peran bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia.
b. Hubungan antara Indonesia dan Guzarat India telah terjalin sejak lama, dan itu terjadi sejak abad I M.
c. Terdapat inkripsi tertua yang ditemukan di Sumatra, yang jelas menyatakan adanya hubungan antara Sumatra dan Guzarat.

W.F. Stutterheim, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang Guzarat. Ia mengatakan bahwa sejak dahulu telah terdapat jalan atau mata rantai per-dagangan antara Indonesia dengan Cambay (Guzarat), Timur Tengah dan Eropah. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nisan Sultan Malikus Sholeh (raja pertama kerajaan Islam Samudra Pasai) mempunyai motif atau berelief Hinduisme, yang dengan mudah dapat di-temui pada setiap Nisan di Guzarat India.
Bernard HM. Vlekke berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa pedagang Guzarat dengan fakta-fakta sebagai berikut :
a. Adanya kesamaan bentuk dan relief Nisan di Sumatra dengan Nisan di Guzarat India.
b. Adanya pengamalan keagamaan terutama mistik yang mempunyai corak yang sama dengan mistik di 

Guzarat India.
Schricke (Indonesian sociological studies) juga menyatakan hal yang sama, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Guzarat sejak semula telah berkembang menjadi pusat perdagangan.
b. Sebagai pusat perdagangan, Guzarat mempunyai hubungan yang erat dengan Malaka (Daerah baru yang berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara, dengan memanfaatkan selat Malaka sebagai jalur dan pelabuhan perdagangan).

Clifford Geertz (The Relegion of Java), yang menyatakan bahwa ajaran agama Islam di Indonesia dipengaruhi oleh Hindu, Budha dan Animisme; yang sebelumnya telah lebih dulu berkembang di Indonesia. Dengan bukti-bukti tersebut, maka berart tidak ada hu-bungan (putus hubungan) antara Indonesia dengan bangsa Arab sebagai sumber ajaran Islam.
Dari berbagai pendapat tersebut, nampak sekali kelemahan-kelemahan yang sama sekali tidak diperhatikan, karena ia hanya menitik beratkan kepada adanya hubungan dagang dan meninggalkan fakta lain yang berkaitan dengan aliran pengamalan agama dan tata bahasa yang biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.

B. Teori Makkah
Teori Makkah kali pertama dikemukakan oleh Prof. HAMKA dalam sebuah ceramah ke-agamaan tentang masuknya Islam di Indonesia, dalam rangka Dien Natalis PTAIN di Yogyakarta pada tahun 1958, dan kemudian ditindaklanjuti pada acara “seminar tentang masuknya Islam di Indonesia” di Medan pada tanggal 17-20 Maret 1963.
Teori Makkah menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh dan me-lalui bangsa (pedagang) Arab, yang datang langsung ke Indonesia, dan Guzarat hanya sebagai tempat persinggahan sementara dari para pedagang tersebut. Bahkan dalam catatan sejarah Farrehand para penyebar Islam tersebut datang langsung dari Arab pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Untuk memperkuat tesis tentang hubungan yang dekat antara Indonesia dan bangsa Arab tersebut terutama dalam proses Islamisasi Indonesia, Prof. HAMKA mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut :

Bahwa orang Makkah (bangsa Arab) merupakan sumber pertama yang membawa agama Islam ke Indonesia, sedangkan Guzarat adalah tempat persinggahan sementara.
Terdapat kesesuaian ajaran yang dianut oleh umat Islam Indonesia dengan umat Islam Makkah atau Mesir (Sumber agama Islam) yaitu Mazhab Syafi’i.
Guzarat sebagai pusat bisnis yang menyebabkan terjadinya hubungan dengan Indonesia, pada masa sebelumnya telah dilakukan oleh bangsa Arab pada tahun 500 SM. Hal ter-sebut dibuktikan dengan :

a. Terdapat perkampungan bangsa Arab di pantai Barat Sumatra, yang pada tahun-tahun berikutnya telah berubah menjadi perkampungan Islam (TW. Arnold 1896, JC. Van Leur 1955 dan Hamka 1958).
b. Terdapat peta bumi yang dimiliki oleh bangsa Arab, yang didalamnya terdapat juga peta Sumatra Indonesia.
Raja Ta Cheh yang diasumsikan sebagai raja dari keturunan bangsa Arab pernah ber-kunjung ke Jawa pada masa pemerintahan Ratu Sima, dan itu terjada pada masa peme-rintahan Kholifah Muawiyah bin Abu Sufyan.

Dengan demikian, keberadaan Guzarat sebagai pusat perdagangan sebagaimana yang dikemukakan oleh para orientalis, dimentahkan oleh teori Makkah yang menemukan bukti adanya hubungan kenegaraan dan perdagangan antara bangsa Arab dengan Indonesia, jauh sebelum Guzarat tampil kedepan. Dan realitas tersebut memperkuat kesimpulan tentang pe-ranan bangsa Arab dalam islamisasi Indonesia.

C. Teori Parsi
Teori Parsi kali pertama disampaikan oleh P.A. Husain Djojoningrat, yang menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui orang-orang Parsi. Husain memulai pendapatnya dengan mengemukakan berbagai hubungan kebudayaan antara Indonesia dengan Parsi. Hu-bungan kebudayan tersebut dapat kita lihat dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :

1. Peringatan 10 Muharram (Syuroan) sebagai peringatan kesyahidan Husain. Bentuk peri-ngatan tersebut, misalnya pembuatan Bubur Syuro, Bulan Husain di Minangkabau dan Bulan Tabut di Sumatra Barat).
2. Adanya kesesuaian pengamalan sufi Syekh Siti Jenar dengan al Hallaj, meninggal tahun 922 M, yang masih berkembang lewat puisi dan masih terus dipelajari.
3. Adanya pemakaian tanda baca dalam pembacaan al Qur’an yang berasal dari Parsi, mi-salnya Zabar (Fathah), Ze-‘er (Kasroh) dan P-yes (Dhammah).
4. Guzarat merupakan tempat persinggahan orang-orang Parsi atau ajaran Syiah.
5. Adanya Mazhab Syafi’i yang menjadi aliran keagamaan Indonesia, berasal dari Malabar yang dibawa oleh orang India dan bukan dari Makkah atau Mesir.

Permasalahan lain yang berkembang berkaitan dengan masuknya Islam ke Indoensia adalah Kapan dan dimana Islam tersebut masuk ke Indonesia. Mengenai kapan Islam masuk ke Indo-nesia terjadi perbedaan pendapat antara abad VII, XIII dan abad XVI.
Pada seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963, yang dihadliri oleh banyak pakar keislaman, terpolarisasi menjadi tiga kelompok pendapat. Sebagian besar dari mereka menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M, sebagaimana yang dikemukakan oleh JC. Van Leur dan TW. Arnold, termasuk pakar sejarah Islam Indonesia, HAMKA. Untuk lebih jelasnya berikut ini pendapat-pendapat mereka :

1. J.C. Van Leur (Indonesia : Trade and Societiy) :
Pada tahun 674 terdapat perkampungan bangsa Arab di bagian Barat Sumatra.
Pada Abad IV, di Kanton telah terdapat perkampungan bangsa Arab dan pada tahun 618-626 dan seterusnya mereka telah berubah menjadi perkampungan Islam Arab, dan kemu-dian terus menyebar disepanjang jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Pada abad XIII merupakan masa perkembangan Islam dan kemudian pada abad XVI, Islam berkembang menjadi kekuatan politik yang hebat bersamaan dengan menurunnya kerajaan Brahmana (1526) dan Vijayanagar (1556) dan meningkatnya peran Malaka sebagai pusat perdagangan Barat.
Pada abad XIII-XVI, banyak Bupati dan petinggi negara di Jawa masuk agama Islam dalam rangka mempertahankan status Quo (untuk memperoleh legitimasi keagamaan dari rakyat Jawa yang telah menganut agama Islam) dan untuk memobilisasi rakyat dalam menghadapi Portugis dan Belanda.
2. HAMKA, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
Bahwa pada abad XIII telah terbentuk kerajaan Islam di Indonesia, maka menurut logika telah terbentuk satu komunitas masyarakat Islam sebagai pendukung kerajaan tersebut, dan ini tidak mungkin kalau Islam baru masuk pada abad XIII M.
Bahwa terdapat catatan dari Ferran sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Schricke. Ia menyatakan bahwa ada Ekspedisi armada Kapal Parsi sebanyak 35 Kapal yang dipimpin oleh Saad Bin Abi Waqash yang berangkat dari Sailan menunju Sriwijaya.

Sedangkan yang lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia masuk pada abad XIII se-bagaimana pendapat yang dikemukakan oleh W.F Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para orientalis tersebut menyatakan bahwa :

1. Telah ditemukan kuburan al Malik al Sholeh sebagai raja pertama Islam di Samudra Pasai, wafat pada tahun 1297. (W.F. Stutterheim).
2. Catatan perjalanan Marco Polo yang datang ke Indonesia pada tahun 1292, yang menyatakan bahwa penduduk Wilayah Perlak telah memeluk agama Islam, dan Wilayah merupakan satu-satunya Wilayah Islam di Indonesia (Bernard H.M. Vlekke).


SITUASI SOSIAL KEAGAMAAN PADA ABAD XVIII

Sebagiamana telah kita ketahui bersama, lewat catatan sejarah bangsa Indonesia, terutama ca-tatan khusus perjalanan umat Islam Indonesia secara politik dan ekonomis. Kita menemukan banyak karya kebudayaan dan keilmuan yang dapat dianggap sebagai salah satu kebanggaan umat Islam tempa dulu.
Di Sumatra, secara politis kita menemukan peninggalan sejarah yang sempat mengharumkan nama Islam sebelum diakhiri oleh kehadliran Portugis dan Belanda, terutama dalam bidang pe-ngembangan perdagangan melalui selat Malaka. Samudra Pasai adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang memberikan tanda bahwa Islam telah Eksis di Indonesia sejak abad XII, dan ke-beradaan Islam di Sumatra tersebut erat hubungannya dengan keberadaan Islam di Jawa, terutama pada masa Wali Songo sebagai motor pergerakan Islam di Jawa.

Raden Paku yang kemudian menjadi salah satu anggota Sunan Songo (Wali Songo) merupakan keturunan dari pemuka Islam di Sumatra, dan dengan demikian secara historis terdapat hubungan yang sangat erat antara penyebar Islam di Sumatra dengan penyebar Islam di Jawa.
Islam di Jawa berkembang dengan pesat setelah Raden Rahmat sebagai Tokoh sentral penyebar Islam di Jawa berhasil melakukan pendidikan anak bangsa dan menjalin hubungan yang harmonis dengan penguasa Majapahit, karena ia sendiri merupakan keluarga kerajaan Majapahit (mem-peristri salah satu putri Majapahit). Keberhasilan Sunan Ampel (Raden Rahmat) menjadi motor penyebar Islam Jawa karena di dukung oleh tiga hal, yaitu :

1. Adanya pusat pendidikan umat yaitu Pesantren Ampel Denta di Ampel Surabaya
2. Adanya kolaborasi antara pendidikan Ampel Denta dengan pejabat Kerajaan Majapahit (salah putra Majapahit yang menjadi murid Raden Rahmat adalah Raden Patah – raja pertama dari kerajaan Islam Demak).
3. Adanya praktek teori rembesan, dimana setiap murid Ampel Denta berkewajiban menye-barkan Islam atau membuka daerah baru untuk pengembangan masyarakat Islam, misalnya Raden Qosim (Sunan Drajat) dan Raden Paku (Sunan Giri Gresik)

JALUR – JALUR PEMBAHARUAN DI NUSANTARA
a. Jalur haji dan mukim,
yakni tradisi tokoh tokoh umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ketika itu bermukim untuk sementara waktu guna menimba dan memperdalam ilmu keagamaan atau pengetahuan lainnya. Sehingga ketika mereka kembali ke tanah air, kualitas keilmuan dan pengamalan keagamaan mereka umumnya semakin meningkat. Ide-ide baru yang mereka peroleh tak jarang kemudian juga mempengaruhi orientasi pemikiran dan dakwah mereka di tanah air
b. Jalur publikasi,
yakni berupa jurnal atau majalah-majalah yang memuat ide-ide pembaharuan Islam baik dari terbitan Mesir maupun Beirut. Wacana yang disuarakan media tersebut kemudian menarik muslim nusantara untuk menterjamahkannya ke dalam bahasa Indonesia bahkan lokal, seperti pernah muncul jurnal al-Imam, Neracha dan Tunas Melayu di Singapura, di Sumatera Barat juga terbit al-Munir.
c. Peran mahasiswa yang sempat menimba ilmu di Timur-Tengah.
 Menurut Achmad Jainuri, para pemimpin gerakan pembaharuan Islam awal di Indonesia hampir merata adalah alumni pendidikan Mekah.
Secara umum kelahiran dan perkembangan pembaharuan Islam di Indonesia merupakan wujud respon terhadap kemunduran Islam sebagai agama karena praktek-praktek penyimpangan, keterbelakangan para pemeluknya dan adanya invansi politik, kultural dan intelektual dari dunia Barat.
Gerakan pembaharuan Islam di Indonesia tidaklah muncul dalam satu pola dan bentuk yang sama, melainkan memiliki karakter dan orientasi yang beragam. Disini penting dipahami bahwa gerakan nasionalisme Indonesia yang bangkit sekitar awal abad ke-20 diusung sebagiannya oleh tokoh-tokoh modernis muslim tidak hanya melalui kendaraan gerakan yang berdasar atau berafiliasi ideologis pada Islam.

Sejarah menunjukkan bahwa Islam ternyata hanya menjadi salah satu alternatif yang mungkin bagi tokoh-tokoh modernis muslim di Indonesia sebagai sumber rujukan teoritis dan instrumental gerakan pembaharuan dan nasionalismenya. Sekalipun demikian, hal ini tidak mengecilkan pengertian adanya keterkaitan antara dimensi penghayatan religius dan artikulasi perjuangan sosial-politik di masyarakat. Dengan kata lain, kesadaran nasional sebagai anak bangsa yang terjajah oleh penguasa asing tampaknya memikat mereka untuk bersama-sama menempatkan prioritas nasional sebagai ujud kepeduliannya.
Dengan kian berkembangnya kiprah gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia dapat dipetakan dengan meminjam sebagai berikut:

A. Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan penduduk pedesaan;
B. Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan perkembangan zaman;
C. Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis. Sebagai pengayaan, menarik jika tipologi ini dikomparasikan dengan kasus gerakan Islam yang berkembang di Turki.

TOKOH-TOKOH PEMBAHARUAN ISLAM DI INDONESIA
Abad ke-19 adalah awal kemunculan ideologi pembaruan Islam yang diserukan oleh Jamaludin Al-afghani dan Muhammad Abduh. Pembaruan Islam yang tumbuh begitu pesat didukung pula dengan berdirinya sekolah-sekolah pembaruan seperti Adabiah (1909), Diniyah Putri (1911), dan Sumatera Thawalib (1915). 

1. Cak Nur (Nurcholis Madjid) 
Cak Nur atau biasa di sebut nurcholis madjid dianggap sebagai ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa. Cak Nur dikenal dengan konsep pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman / ke-bhinneka-an keyakinan di Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain, walaupun memeluk agama yang sama.

Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar manusia yang berbeda-beda, Cak Nur mendukung konsep kebebasan dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan. Maka pahala ataupun dosa akan menjadi imbalan atas apa yang secara yakin ia lakukan.

Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.
 

Namun demikian, ia juga berjasa ketika bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998. Cak Nur sering diminta nasihat oleh PresidenSoeharto terutama dalam mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk menghindari gejolak politik yang lebih parah.

Ide dan Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak dicetuskan tahun 1960-an, sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai yang berlabelkan agama. 

2. K.H. Ahmad Dahlan 
K.H. Ahmad Dahlan atau dikenal dengan Kiai Dahlan telah membawa pembaharuan dan membuka kacamata modern Islam di Indonesia sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan lagi secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melantunkan ayat Al Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan dalam Al Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya saja tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya menjadi suatu dogma yang mati.

Di bidang pendidikan, Kiai Dahlan juga mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas antara jenjang dan metode yang diajarkan lantaran mengutamakan hafalan dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Sehingga Kiai Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Kiai Dahlan terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.

Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan.Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keratin seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.

Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, sebagai bentuk kesadaran pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathandisingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. 

3. Syekh Muhammad Jamil Jambek 
Sebagai ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20, serta sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek. Beliau dilahirkan dari keluarga bangsawan dan juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatera Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.

Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.

Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.

Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.

Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi.

4. Abdul Karim Amrullah
Lahir dengan nama Muhammad Rasul di Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 10 Februari 1879. Beliau dijuluki sebagai Haji Rasul dan merupakan salah satu ulama terkemuka sekaligus reformis Islam di Indonesia. Beliau juga merupakan pendiri Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia.

Abdul Karim Amrullah dilahirkan dari pasangan Syekh Muhammad Amrullah dan Andung Tarawas. Ayahnya, yang juga dikenal sebagai Tuanku Kisai, merupakan syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah. Bersama dengan Abdullah Ahmad, Abdul Karim Amrullah menjadi orang Indonesia pertama yang memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar, di Kairo, Mesir. Pada tahun 1894, beliau dikirim oleh ayahnya ke Mekkah untuk menimba ilmu dan berguru pada Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mendirikan cabang Muhammadiyah di Minangkabau, tepatnya di Sungai Batang, kampung halamannya. Salah satu putranya, yaitu Hamka, nama pena dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Abdul Karim Amrullah meninggal di Jakarta, 2 Juni 1945 pada usia 66 tahun.

Sumber : Nasution, Harun. 1994. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang. 
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.