Indonesia, menurut catatan Ethnologue.com hingga tahun 2020, memiliki 671 bahasa daerah. Lebih dari setengah jumlah bahasa ini sudah mengalami penurunan jumlah penutur dan berstatus terancam punah dengan rincian, yaitu 19 bahasa telah terlembaga, 35 bahasa sedang berkembang, 180 bahasa masih kuat, 357 bahasa dalam bahaya, 79 bahasa dalam ambang kepunahan, dan 1 bahasa tidak berdiri tetap (Eberhard dkk, 2020). Kondisi ini membuat kita sadar bahwa kekayaan bahasa daerah di Indonesia saat ini berbanding terbalik dengan kondisi bahasa daerah tersebut, mereka tidak benar-benar kaya.
Dari beberapa bahasa daerah di Indonesia yang terklasifikasi menjadi bahasa ibu yang ada di Indonesia, salah satu bahasa ibu yang belum tertangani secara menyeluruh dari segi pelestarian dan pengawasan penutur adalah bahasa Melayu. Hal ini disebabkan oleh bahasa melayu acap kali tersamarkan dengan bahasa lain, seperti bahasa Jawa atau bahasa Indonesia karena bahasa melayu memiliki fonem yang mirip antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah lainnya sehingga rumpun bahasa Melayu seringkali tidak terdeteksi sebagai bahasa Melayu.
Dari
20 jenis bahasa Melayu yang terdata, salah satu variasi bahasa Melayu yang
masih eksis di tengah masyarakat adalah bahasa Lembak. Bahasa Lembak merupakan
bahasa masyarakat suku Lembak dan masih menjadi salah satu bahasa yang masih
bertahan hingga sekarang.
Bahasa
Lembak lahir dari fonologi Melayu Col/Cul. Berdasarkan penelitian terdahulu,
bahasa Lembak pertama kali terekam pada tulisan aksara daerah. Aksara daerah
yang dimaksud adalah aksara Ulu, yaitu aksara turunan dan perkembangan dari
aksara Pasca Pallava (Gonda, 1973 dalam Sedyawati, 2004). Naskah-naskah Ulu
Lembak itu ditulis pada bambu, kertas, dan kulit kayu. Noermanzah (2017)
mengatakan salah satu ciri khas bahasa Lembak adalah penggunaan akhiran –e.
Sebagai contoh, kata apa dalam bahasa Lembak berarti ape [apé].
Bahasa Lembak juga memiliki beberapa kosakata yang berbeda dibandingkan dengan
bahasa daerah Bengkulu lainnya.
Di
pulau Sumatra yang menjadi tempat persebaran bahasa induk Melayu, pengguna
bahasa Lembak tersebar hampir di seluruh provinsi. Salah satunya adalah
Provinsi Bengkulu yang tersebar di Kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding,
Kepala Curup, desa Pagar Dewa, desa Sukarami, desa Dusun Besar, Kelurahan
Panorama, dan Kelurahan Jembatan Kecil (Misriani, 2019).
Bahasa
Lembak memiliki beberapa subkelompok dialek. Menurut Melati (2016), bahasa
Lembak memiliki tiga subkelompok dialek yang mayoritas tersebar di Provinsi
Sumatra Selatan dan Bengkulu. Di Provinsi Sumatera Selatan, bahasa Lembak
memiliki subkelompok dialek Lembak Kayu Agung yang berada di daerah Kayu Agung
dan dialek Lembak Beliti yang berada di daerah Lubuk Linggau. Sementara itu, di
Provinsi Bengkulu, bahasa Lembak memiliki subkelompok dialek Lembak Delapan.
Konon, Provinsi Bengkulu ini merupakan awal mula penggunaan bahasa Lembak sebab
dahulu terdapat satu kerajaan Sungai Serut yang bermukim di sepanjang Provinsi
Bengkulu hingga Lubuk Linggau.
Untuk
mempertahankan eksitensi bahasa Lembak, setiap kelompok penutur memiliki ciri
khas enkulturasi pola komunikasi bahasa Lembaknya masing-masing. Salah satu
contoh kelompok masyarakat suku Lembak yang masih melestarikan bahasa Lembak
adalah kelompok suku Lembak masyarakat Padang Ulak Tading (Pelangi, 2006).
Masyarakat Padang Ulak Tading melestarikan bahasa Lembak dengan cara menurunkan
enkulturasi pola komunikasi melalui peribahasa. Peribahasa yang menjadi ciri
khas utama masyarakat Lembak Padang Ulak Tading adalah pepatah yang berisi
nasihat-nasihat hidup. Salah satu pepatah yang digunakan adalah “Hinggap
nga kayu rimbon (mampir di kayu rimbun)” (Pelangi,
2006). Pepatah ini digunakan untuk mengungkapkan keresahan terhadap fenomena
masyarakat yang sombong setelah mendapat keuntungan atau kekayaan yang besar.
Masyarakat suku Lembak Padang Ulak Tading merasa bahwa fenomena ini merupakan
fenomena yang tidak diterima di masyarakatnya sehingga masyarakat menggunakan
pepatah ini sebagai salah satu ungkapan nasihat antarmasyarakat (Pelangi,
2006).
Seperti masyarakat melayu pada umumnya, masyarakat suku Lembak juga menggunakan pantun sebagai upaya melestarikan bahasa Lembak. Pantun ini biasa diucapkan atau dilafalkan pada saat prapernikahan, upacara pernikahan, dan setelah peristiwa pernikahan.
Sumber : http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/i
0 Komentar