Di Kecamatan Lembak yang menjadi bagian dari Kabupaten Rejang Lebong Bengkulu tari turak adalah tari sambut yang ditampilkan untuk menyambut tamu-tamu kehormatan rajo atau raja-raja penguasa Lembak di masa lalu. Hal ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan di Kabupaten Musi Rawas yang juga menjadikan tari turak sebagai tari untuk menyambut tamu.
Perbedaan antara antara tari turak Terawas dengan tari turak Lembak adalah, di Terawas saat penyambutan tamu hanya tari turak saja ditampilkan sebagai tari sambut. Sementara itu di daerah Lembak tari turak biasanya akan ditampilkan bersama dengan tari belai. Di daerah Rejang Lebong yang mayoritas adalah Suku Rejang tari belai ini dikenal dengan nama tari kejai.
Setiap tamu kehormatan yang datang ke daerah Lembak akan suguhi penampilan tari belai atau tari kejai yang diikuti dengan penampilan tari turak sebagai tari sambut. Setelah penampilan kedua tari ini secara berurutan barulah acara dibuka oleh tuan rumah atau penguasa dan tokoh masyarakat Lembak.
Di sebagian masyarakat Lembak ada juga berkembang cerita dari mulut ke mulut bahwa tari turak adalah tari panen atau tari ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan alam atas hasil panen. Turak yang diisi beras kunyit ditujukan agar hasil panen masyarakat menjadi melimpah dan musim kemarau berganti menjadi musim hujan yang menyuburkan tanah.
Cerita lainnya yang berkembang di masyarakat mengenai tari turak yakni tari ini merupakan tari musim panceklik, di mana pada suatu masa daerah Lembak mengalami gagal panen dan masyarakatnya kelaparan dan terpaksa memakan apapun tanaman yang ada saat itu. Di masa sulit ini tiba-tiba muncul seorang gadis yang tidak diketahui dari masa asalnya mengajarkan kepada masyarakat Lembak bagaimana cara menanam padi sehingga hasilnya berlimpah. Setelah mengajarkan masyarakat Lembak menanam padi, gadis itu kemudian pergi begitu saja tanpa diketahui masyarakat Lembak. Padi yang ditanam masyarakat berdasarkan ajaran si gadis tadi ternyata tumbuh subur dan hasilnya melimpah dan membawa kemakmuran bagi masyarakat Lembak. Sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat Lembak kemudian menari sembari menaburkan beras yang dicampur kunyit (beras kunyit) yang diisi di dalam turak (bambu) sebagai ungkapan syukur pada Tuhan atas lepasnya mereka dari bencana kelaparan dan hasil panen yang melimpah. Sejak saat itulah tari turak selalu ditarikan oleh masyarakat Lembak sebagai ungkapan syukur dan terhindar dari musim panceklik yang pernah mereka alami.
Versi lain dari sejarah tari turak di Lembak ini berdasarkan kisah Rije Kejeli yang menjadi raja di Mandi Angin saat Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin oleh Sultan Akhmad Najamudin. Politik penjajahan yang dilakukan oleh Belanda menyebabkan terjadinya konflik dengan masyarakat yang berujung pada terbunuhnya pejabat Belanda. Kemenangan yang diraih oleh masyarakat Mandi Angin kemudian dirayakan dengan upacara penyambutan adat. Saat pesta tengah berlangsung, para kemudian menabur beras kunyit sebanyak tiga kali dari sepotong bambu untuk meminta keselamatan pada leluhur akan gangguan yang datang dari luar ke wilayah ini (warisanbudaya.kemendikbud.go.id)
Tari turak yang berkembang di daerah Lembak ditampilkan dalam upacara pernikahan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986). Pada masa kini tari turak di Lembak tidak hanya untuk menyambut tamu kehormatan yang datang ke lembak namun juga sering ditampilkan dan berbagai perayaan adat masyarakat Lembak seperti khitanan dan syukuran. Tari turak saat ini telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) daerah Lembak Provinsi Bengkulu sejak tahun 2011 dengan nomor register 2011001462 (warisanbudaya.kemendikbud.go.id)
Berdasarkan uraian sejarah tari turak di atas tampak bahwa sejarah tari turak memiliki banyak versi dan tidak ada bukti tertulis siapa, di mana dan kapan tari ini diciptakan. Hanya cerita turun temurun mengenai tari ini yang bisa digunakan untuk menelusuri jejak sejarah tarian ini yang sulit untuk dicari kebenarannya. Masyarakat Terawas dan Lembak sama-sama mengaitkan kemunculan tari ini dengan masa Kesultanan Palembang Darussalam diperkirakan antara abad 18 dan abad 19 saat Belanda masih menjajah Indonesia.
0 Komentar