Sejarah mengenai
Kesultanan Palembang dapat dimulai pada pertengahan abad ke-15 pada masa
hidupnya seorang tokoh bernama Ario Dillah atau Ario Damar. Beliau adalah
seorang putera dari raja Majapahit yang terakhir, yang mewakili kerajaan
Majapahit bergelar Adipati Ario Damar yang berkuasa antara tahun 1455-1486 di Palembang
Lamo, yang sekarang ini letaknya di kawasan 1 ilir. Pada saat kedatangan Ario
Damar ke Palembang, penduduk dan rakyat Palembang sudah banyak yang memeluk
agama Islam dan Adipati Ario Damar pun mungkin kemudian memeluk agama Islam,
konon namanya berubah menjadi Ario Abdillah atau Ario Dillah (Dalam bahasa Jawa
damar = dillah = lampu).
Picture By https://cagarbudaya.kemdikbud.go.id/ |
Ario Dillah mendapat
hadiah dari Raja Majapahit terakhir Prabu Kertabumi Brawijaya V salah seorang
isterinya keturunan Cina (kadang-kadang disebut juga Puteri Champa) yang telah
memeluk Islam dan dibuatkan istana untuk Puteri. Pada saat putri ini diboyong
ke Palembang ia sedang mengandung, kemudian lahir anaknya yang bernama Raden
Fatah. Menurut cerita tutur yang ada di Palembang, Raden Fatah ini lahir di
istana Ario Dillah di kawasan Palembang lama (1 ilir), tempat itu dahulu
dinamakan Candi ing Laras, yaitu sekarang terletak di antara PUSRI I dan
PUSRI II. Raden Fatah dipelihara dan dididik oleh Ario Dillah menurut agama
Islam dan menjadi seorang ulama Islam. Sementara itu hasil perkawinan Ario
Dillah dengan putri Cina tersebut, lahir Raden Kusen yaitu adik Raden Fatah
lain bapak.
Setelah kerajaan
Majapahit bubar karena desakan kerajaan-kerajaan Islam, Sunan Ngampel, sebagai
wakil Walisongo, mengangkat Raden Fatah menjadi penguasa seluruh Jawa,
menggantikan ayahnya. Pusat kerajaan Jawa dipindahkan ke Demak. Atas bantuan
dari daerah-daerah lainnya yang sudah lepas dari Majapahit seperti Jepara,
Tuban, Gresik, Raden Fatah mendirikan Kerajaan Islam dengan Demak sebagai pusatnya
(kira-kira tahun 1481). Raden Fatah memperoleh gelar Senapati Jimbun
Ngabdu’r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata’Gama.
Hubungan Palembang
dengan Demak
Raja Kerajaan Demak Raden
Fatah wafat tahun 1518 dan digantikan puteranya Pati-Unus atau Pangeran Sabrang
Lor yang wafat tahun 1521, kemudian digantikan saudara Pati-Unus yaitu Pangeran
Trenggono yang wafat pada tahun 1546 (makam-makam mereka ada di halaman Mesjid
Demak). Setelah Pangeran Trenggono wafat terjadi perebutan kekuasaan antara
saudaranya (Pangeran Seda ing Lepen) dan anaknya (Pangeran Prawata). Pangeran
Seda ing Lepen akhirnya dibunuh oleh Pangeran Prawata. Kemudian Pangeran
Prawata beserta keluarganya dibunuh pada tahun 1549 oleh anak Pangeran Seda ing
Lepen yang bernama Arya Penangsang atau Arya Jipang. Demikian juga menantu
Raden Trenggono yang bernama Pangeran Kalinyamat dari Jepara juga dibunuh. Arya
Penangsang sendiri dibunuh oleh Adiwijaya juga seorang menantu Pangeran
Trenggono atau terkenal dengan sebutan Jaka Tingkir yang menjabat
Adipati penguasa Pajang. Akhirnya Keraton Demak dipindah oleh Jaka Tingkir ke
Pajang dan habislah riwayat Kerajaan Demak. Kerajaan Demak hanya berumur 65
tahun yaitu dari tahun 1481 sampai 1546.
Dalam kemelut yang
terjadi atas penyerangan Demak oleh Pajang ini, berpindahlah 24 orang keturunan
Pangeran Trenggono (atau Keturunan Raden Fatah) dari kerajaan Demak ke
Palembang, dipimpin oleh Ki Gede Sedo ing Lautan yang datang melalui Surabaya
ke Palembang dan membuat kekuatan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang, yang kemudian
menurunkan raja-raja, atau sultan-sultan Palembang. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya
tepat berada di kompleks PT. Pusri, Palembang. Dari bentuk keraton Jawa di tepi
sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di
sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan
melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan
Palembang.
Hubungan Palembang
dengan Mataram
Pindahnya pusat
kerajaan Jawa dari Demak ke Pajang menimbulkan pergolakan baru setelah wafatnya
Jaka Tingkir. Pajang yang diperintah Arya Pangiri diserang oleh gabungan dua
kekuatan, dari Pangeran Benowo (putra Jaka Tingkir yang tersingkir) dan
kekuatan Mataram (dipimpin Panembahan Senapati atau Senapati Mataram, putra
Kyai Ageng Pemanahan atau Kyai Gede Mataram). Akhirnya Arya Pangiri menyerah
kepada Senapati Mataram dan Kraton Pajang dipindahkan ke Mataram (1587) dan
mulailah sejarah Kerajaan Jawa Mataram.
Senapati Mataram sendiri merupakan keturunan Raden Fatah dan Raden Trenggono
yang masih meneruskan dinastinya di Jawa, sehingga dapat dipahami eratnya
pertalian antara Palembang dan Mataram pada masa itu, yang terus berlanjut
hingga masa pemerintahan Raja Amangkurat I (silsilah raja yang keempat). Sampai
akhir 1677 Palembang masih setia kepada Mataram yang dianggap sebagai
pelindungnya, terutama dari serangan kerajaan Banten. Sultan Muhammad (1580 –
1596) dari Kesultanan Banten pada tahun 1596 pernah menyerbu Palembang
(diperintah Pangeran Madi Angsoko) dengan membawa 990 armada perahu, yang
berakhir dengan kekalahan Banten dan wafatnya Sultan Muhammad. Penyerbuan ini
dilakukan atas anjuran Pangeran Mas, putra Arya Pangiri dari Demak.
Tetapi tidak lama
kemudian terdapat golongan yang ingin memisahkan diri dari ikatan dengan Jawa
khususnya generasi mudanya. Sementara itu kekuasaan raja-raja Mataram juga
berangsur berkurang karena makin bertambahnya ikut campur kekuasaan VOC Belanda
di Mataram, sehingga dengan demikian kekuasaan dan hubungan dengan daerah-daerah
seberang termasuk Palembang juga merenggang.
Hubungan Palembang
dengan VOC
Palembang yang semula
merupakan bagian dari kekuasaan Mataram mulai mengadakan hubungan dengan VOC,
dengan demikian timbul kecurigaan dari penguasa Mataram dan dampaknya adalah
makin renggangnya hubungan Palembang dengan Mataram. Kontak pertama Palembang
dengan VOC pada tahun 1610. Pada awalnya VOC tidak banyak berhubungan dengan
penguasa Palembang, selain saingan dari Inggris dan Portugis serta Cina, juga
sikap penguasa Palembang yang tidak memberikan kesempatan banyak kepada VOC.
VOC menganggap penguasa Palembang terlalu sombong; dan menurut VOC hanya dengan
kekerasan senjatalah kesombongan Palembang dapat dikurangi, sebaliknya
Palembang tidak mudah digertak begitu saja.
Semasa pemerintahan Pangeran Sideng Kenayan yang
didampingi istrinya Ratu Sinuhun di
Palembang dan Gubernur Jendral di Batavia Jacob Specx (1629-1632) telah dibuka
Kantor perwakilan Dagang VOC (Factorij) di Palembang. Kontrak ditanda
tangani tahun 1642, tetapi pelaksanaanya baru pada tahun 1662. Anthonij Boeij
sejak tahun 1655 ditunjuk sebagai wakil pedagang VOC di Palembang dan sementara
tetap tinggal di kapal karena belum punya tempat (loji) di darat. VOC sendiri
telah sejak tahun 1619 ingin mendirikan loji (kantor) dan gudang di
Palembang. Pembangunan loji dari batu mengalami kesulitan karena pada saat yang
sama didirikan bangunan-bangunan antara lain kraton di Beringin Janggut, Masjid
Agung dan lain lainnya. Mula-mula loji didirikan di atas rakit, kemudian
bangunan dari kayu yang letaknya di 10 Ulu sekarang diatas sebuah pulau yang
dikelilingi sungai Musi, sungai Aur, sungai Lumpur serta sambungan dari sungai
Tembok. Bangunan permanen dari batu baru dibuat pada tahun 1742. Tindak-tanduk
mereka ini tidak menyenangkan orang Palembang karena antara lain ia menyita
sebuah jung Cina bermuatan lada.
Kemudian VOC
menggantikannya dengan Cornelis Ockerz (dijuluki — si Kapitein Panjang) yang
tadinya dicadangkan untuk jadi perwakilan di Jambi. Ockerz datang dua kali di
bulan Juni 1658 ke Palembang yang terakhir ia menahan beberapa kapal
diantaranya milik putra mahkota Mataram. Terjadi bentrokan yang kemudian dapat
didamaikan. Pada tanggal 22 Agustus 1658 beberapa bangsawan Palembang (a.l.
Putri Ratu Emas, Tumenggung Bagus Kuning Pangkulu, Pangeran Mangkubumi Nembing
Kapal, Kiai Demang Kecek) naik ke atas kapal yacht Belanda, yang bernama Jacatra
dan de Wachter, dan membunuh Ockerz beserta 42 orang Belanda lainnya
serta menawan 28 orang Belanda. Peristiwa ini disebabkan karena
kecurangan-kecurangan serta kelicikan orang-orang Belanda termasuk Ockerz.
Kemudian untuk membalas tindakan orang Palembang ini Belanda mengirimkan
armadanya yang dipimpin Laksamana Johan Van der Laen dan pada tanggal 24
November 1659 membakar habis kota dan istana Sultan di Kota Gawang (1 llir). Pangeran
Mangkurat Seda ing Rajek akhirnya menyingkir ke Indralaya (makamnya di Saka
Tiga).
Referensi : http://infokito.wordpress.com/
0 Komentar