PUNYA LEMBAK – Legenda Ular Kepala Tujuh merupakan cerita rakyat dari
Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu, Cerita ini bahkan masih mengakar kuat di
masyarakat kabupaten Lebong dan kabupaten Rejang Lebong hingga saat ini.
Berikut kisah lengkapnya.
Alkisah, dahulu kala berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam
yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Sang Raja mempunyai delapan orang putra.
Suatu ketika, Raja Bikau Bermano hendak melangsungkan upacara perkawinan
putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka
Negeri yang bernama Putri Jenggai. Pihak istana kerajaan Kutei Rukam kemudian
menyiapkan segala sesuatunya untuk melangsungkan pernikahan semeriah
mungkin.Hingga tibalah hari pernikahan Pangeran Gajah Meram dengan Putri Jenggai.
![]() |
Picture By https://www.bengkulutoday.com/ |
Awalnya upacara pernikahan berjalan lancar. Namun, tiba-tiba
saja terjadi sebuah keanehan. Pangeran Gajah Meram dan Putri Jenggai tiba-tiba
hilang entah kemana. Saat itu keduanya tengah melakukan upacara prosesi mandi
bersama di tempat pemandian Aket di tepi Danau Tes. Tidak seorang pun tahu ke
mana hilangnya pasangan itu. Hilangnya Putra Mahkota Gajah Meram dan Istrinya
Putri Jenggai secara miterius di pemandian kerajaan Aket di tepi Danau Tes
menggemparkan isntana kerajaan Kutei Rukam. Mereka memang sedang menjalani
upacara mandi berendam di pemandian itu. Upacara itu merupakan salah satu
rangkaian upacara pernikahan antara Putra Mahkota kerajaan Kutei Rukam dan
Putri Jenggai dari kerajaan Suka Negeri.
Raja kerajaan Kutei Rukam, raja Bikau Bermano, berinisiatif
mengadakan pertemuan darurat. Pertemuan itu dihadiri para petinggi dari
kerajaan, bendahara, para hulubalang, dan tujuh orang putranya. Kecemasan
tampak jelas di raut wajah sang Raja karena anak dan menantunya hilang tanpa
jejak.
“Terima kasih saya ucapkan kepada kalian semua yang sudi
menghadiri pertemuan darurat ini. Seperti yang telah kalian ketahui dari kabar
yang sudah beredar luas, baik di lingkungan istana maupun di masyarakat luas
bahwa Putra Mahkota dan istrinya hilang begitu saja di tepi Danau Tes. Adakah
yang dapat memberikan pandangannya mengenai masalah ini?” tanya Raja sambil
mengalihkan pendangannya menyapu semua yang hadir di ruang sidang istana. Sang
raja sangat berharap ada jalan keluar yang dihasilkan melalui pertemuan itu.
“Maaf, Baginda Raja. Hamba adalah hulubalang yang bertugas
bersama tiga orang pengawal kerajaan yang bertanggung jawab menjaga keselamatan
Putra Mahkota dan Putri Jenggai. Sementara keduanya berendam,kami berjaga-jaga
di depan pemandian. Akan tetapi, hingga matahari tambah tinggi, mereka belum
selesai juga. Hambalah yang masuk ke pemandian untuk memastikan keadaan mereka.
Hamba sangat terkejut mendapati Putra Mahkota dan Putri Jenggai tidak ada di
pemandian, padahal kami yang menjaga diluar tidak mendengar adanya suara
keributan. Hamba dan semua pengawal menyusuri tepian danau untuk mencari
mereka. Hasilnya seperti yang Baginda Raja ketahui. Putra Mahkota dan Putri
Jenggai belum ditemukan hingga kini.” jelas hulubalang yang usianya hampir
separuh baya.
“Aneh memang. Sampai-sampai penjaga yang dekat di lokasi
pemandian pun tidak mendengar sesuatu saat putra dan menantuku menghilang”
gumam sang Raja.
“Ampun, Baginda. Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba.
Mungkin saja, Putra Mahkota dan Putri Jenggai diculik oleh ular raksasa
berkepala Tujuh yang menghuni dasar Danau Tes. Pendapat hamba ini didasarkan
pada cerita-cerita dari tun tuai (orang tua-tua). Menurut mereka, raja ular itu
sangat sakti, licik, kejam dan suka mengganggu beberapa orang yang sedang mandi
di Danau Tes. ” ujar hulubalang lainnya turut menyumbang pendapatnya.
Mendengar raja ular sakti disebut-sebut, suasana pertemuan
menjadi gaduh dan ramai. Masing-masing bercerita tentang keberadaan ular sakti
itu kepada orang di samping kanan dan kirinya di ruang rapat itu. Ada yang
bercerita tetangganya yang di ganggu, saudara, atau orang penting di desanya.
Akan tetapi, tidak satupun dari mereka yang pernah menyaksikannya atau sekeda
berurusan langsung dengan raja ular di Danau Tes itu. Mereka salin bertukar
kabar burung yang belum jelas kebenarannya. Pada dasarnya, cerita Raja ular
yang sakti dan suka mengganggu itu bukanlah halyang baru bagi mereka. Melihat
suasana rapat yang gaduh, sang Raja kembali bertatih. Sekejap, para peserta
pertemuan langsung terdiam.
“Jika benar apa yang kamu katakan hai Hulubalang, siapakah yang
mampu menandingi si Raja ular serta membebaskan Putra Mahkota dan istrinya dari
cengkramannya?” ucap baginda Raja kepada semua yang hadir dalam pertemuan itu.
Mendengar ucapan sang baginda raja, para peserta pertemuan saling pandang.
Pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang sulit di jawab.
“Maaf Ayahanda, izinkan Ananda pergi ke sarang Raja ular itu
untuk menumpasnya dan membawa kakak dan istrinya kembali pulang,” ujar putra
Bungsu sang Raja yang bernama Gajah Merik.
Sang Raja tidak serta merta mengabulkan keinginan Gajah Merik.
Di matanya, putra bungsunya itu sangatlah muda belia. Usianya baru Tiga Belas
tahun. Penguasaan ilmu pengetahuan dan ilmu kesaktian tidaklah diragukan lagi,
tetapi menantang Raja ular yang sakti itu soal lain. Dipandanginya kembali
lekat-lekat raut wajah Gajah Merik. Dari sorot matanya, sang Raja melihat
semangat yang menggebu-gebu,keberanian yang luar biasa, serta kekerasan
hatinya. Tidak sampai hati sang Raja mematikan itu semua hanya karena dia masih
sangat belia sehingga tidak di beri izin.
“Maaf Ayahanda. Sekali lagi, izinkanlah hamba menumpas Raja ular
itu.” Ujar Gajah Merik mengulang perkataannya karena sang baginda tidak segera
menanggapi keinginannya.
Sebenarnya, bukan hanya Raja yang terkejut mendengar perkataan
putra bungsu, para peserta juga sangat terkejut. Sebab, usianya masih sangat
muda, tetapi dialah yang paling berani diantara putra-putra Raja lainnya.
“Baiklah, anakku Gajah Merik. Ayahanda izinkan ananda pergi
memerangi Raja ular dan menyelamatkan kakakmu serta istrinya, tetapi ada satu
syarat yang harus ananda penuhi. Ananda harus bertapa terlebih dahulu di Tepat
Topes selama tujuh hari tujuh malam untuk mendapatkan senjata pusaka sebagai
bekal dalam menghadapi kesaktian Raja ular,” ujar Raja Bikau Bermano.
“Ananda patuh memenuhi syarat itu, Ayahanda,” kata Gajah Merik
singkat saja. Tekadnya sudah bulat suhingga syarat yang di lontarkan sang Raja
bukanlah suatu hal yang memberatkannya.
“kepala pengawal, siapkan empat pengawal terbaik untuk
mengamankan dan mengawal putraku Gajah Merik bertapa di Tepat Topes, titah sang
Raja kepada pengawal. Tepat Topes yaitu suatu wilayah di antara Ibu Kota
kerajaan Suka Negeri dan kampung Baru.
“Siap Baginda. Hamba akan melaksanakan titah baginda itu dengan
sebaik-baiknya,” sahut sang kepala pengawal patuh.
“Heh…siapa kamu? Berani sekali memasuki wilayah Raja ular yang
memiliki 7 kepala. Mencari mati, kamu ya?” Bentak ular pengawal garang.
Sesungguhnya, ular pengawal itu kaget bukan kepalang berjumpa anak
manusia yang berhasil menyusup ke istana Raja ular yang letaknya ada di dasar
danau. Pasti, anak ini memiliki kesaktian yang luar biasa, pikirnya dalam hati.
“Saya Gajah Merik, kalianlah yang mencari mati jika berani
menghalangi saya bertemu dengan Rajamu. Rasakan ini,” gertak Gajah Merik
membalas bentakan ular pengawal. Gajah Merik menyerang para ular pengawal dan
berhasil mengalahkan mereka dengan mudah dan hanya dalam 1 pukulan.
Setelah mengalahkan ular pengawal di gerbang istana, Gajah Merik
menerobos kedalam istana yang berbentuk gua yang besar dan luas. Sebelum
ketempat Raja ular berada, rupanya Gajah Merik harus melalui enam gerbang lagi
yang dijaga ketat para ular pengawal yang kuat dan sakti. Gajah Merik berhasil
melalui enam gerbang itu dan sampailah ke kediaman Raja ular. Asap tebal
menggulung di hadapan Gajah Merik. Seiring menipisnya asap, wujud ular raksasa
berkepala tujuh menyeruak. Wujudnya sangat besar suaranya menggema dan
menggetarkan dinding-dinding istana, dan sangat menakutkan.
“Rupanya kamu bocah tengik yang berani mengacak-ngacak istanaku.
Sudah bosan hidup kamu?!!” ancam Raja ular marah luar biasa.
Suara Raja ular menggelegar, Meneggakkan bulu kuduk bagi yang
mendengarkannya. Berhadapan langsung dengan Raja ular raksasa berkepala tujuh
tidaklah menyurutkan langkah Gajah Merik. Di acungkanlah keris sakti miliknya
sebagai tanda Gajah Merik menantang Raja ular itu berduel dengannya.
“Hei…makhluk terkutuk, saya datang untuk melenyapkanmu dari muka
bumi ini sekaligus membawa pulang Kakakku dan istrinya yang telah kau culik dan
kau sembunyikan dalam istanamu ini!” teriak Gajah Merik tidak kalah hebat
gertakannya kepada wujud ular raksasa di hadapannya.
“ha…ha..lucu sekali ucapanmu itu, bocah tengik.! Aku berjanji
akan menyerahkan Kakakmu dan istrinya itu jika kamu dapat menghidupkan kembali
para ular penjaga yang telah kau tumpas tadi. dan tentu saja kau harus
mengalahkanku,” ujar Raja ular meremehkan Gajah Merik.Usai berkata demikian,
Raja ular tertawa terbahak-bahak sampai-sampai tubuhnya berguncang-guncang.
“Tertawalah sampai puas, hai Raja ular yang sombong.! Lihatlah
ini!,” teriak Gajah Merik.
Dikebutkannya selendang yang sedari dari bertengger di bahu
kirinya. Dalam sekali kebutan, para ular penjaga yang telah tewas hidup
kembali. Melihat kesaktian Gajah Merik yang luar biasa itu, tawa Raja ular
terhenti berganti berang. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh seorang anak
kecil. Diserangnya Gajah Merik dengan jurus andalannya. Kini, sang Raja ular
menyadari dirinya tidak boleh main-main lagi dalam menghadapi Gajah Merik.
Perkelahian antara Gajah Merik dan Raja ular berlangsung sangat sengit. Mereka
saling serang, saling terjang, dan saling adu kesaktian. Sampailah pada hari
kelima, Raja ular mulai terlihat kelelahan. Energinya mulai terkuras, sedangkan
Gajah Merik masih tetap prima dan tambah digdaya. Pukulan dan serangan Gajah
Merik beberapa kali mengenai sasaran. Pertahanan Raja ular mulai kedodoran
disana sini. Sampailah pada puncaknya, Gajah Merik ingin mengakhiri perkelahian
yang sangat melelahkan itu. Dimantrainya selendang sihingga berubah menjadi
pedang yang mampu mencederai tubuh Raja ular. Raja ular tersurut mundur
beberapa langkah ke belakang. Wujudnya bersalin rupa ke wujud sosok manusia.
Kaki kirinya terluka parah terkena sabetan pedang. Dilambai-lambaikan kedua
tangannya tanda menyerah. Gajah Merik menolong dan mendudukkannya. Raja ular
mengaku kalah dan mengatakan suatu tempat dalam istana tempat Putra Mahkota dan
istrinya disandera. Gajah Merik bergegas ke tempat yang dimaksud dan berjumpa
dengan kakaknya. Sementara itu, Raja ular duduk bersemedi berusaha mengobati
lukanya.
Di tempat lain di istana kerajaan Kutei Rukam, Raja dan
permaisurinya dilanda kecemasan yang mendalam. Setelah putra sulungnya
menghilang, tiada kabar pula tentang putra bungsunya. Seharusnya setelah tujuh
hari tujuh malam bertapa, Gajah Merik kembali ke istana, tetapi hingga kini
belum kelihatan batang hidungnya. Hingga beberapa hari kemudian, datanglah
kabar yang membahagiakan hati dan melegakan. Seorang pengawal berlari
tergesa-gesa ingin segera mengabarkan kepada sang Raja, Putra Mahkota Gajam
Meram dan istrinya Putra Jenggai, serta Gajah Merik telah muncul ke permukaan
Danau Tes dengan selamat. Rupanya setelah bertapa, Gajah Merik langsung ke
tempat Raja ular. Setelah sampai kabar gembira itu ke telinga sang Raja, istana
disibukkan dengan upacara penyambutan.
Sorak-sorai kemenangan mengiringi langkah Putra Mahkota Gajah
Meram dan istrinya Putri Jenggai, serta Gajah Merik menuju istana. Wajah
ketiganya sumringah karena telah terbebas dari kungkungan Raja ular. Setibanya
di istana, mereka di sambut dengan upacara penyambutan. Peluk cium mewarnai
kepulangan mereka. Pada saat yang berbahagia itulah, Raja menobatkan Putra
Mahkota Gajah Meram menjadi Raja menggantikan dirinya. Gajah Meram menolak
penobatan itu. Menurutnya, adik bungsunyalah yang lebih berhak menjadi Raja.
“Ayahanda, bukanlah ananda berlaku lancang. Gajah Meriklah yang
lebih pantas menjadi Raja. Karena dengan jiwa kepahlawanannya, dia memberikan
sumbangsih yang besar kepada kerajaan ini serta keberaniannya dapat
menyelamatkan ananda dan Putri Jenggai,” tutur Gajah Meram dengan penuh
bijaksana.
Baginda Raja menyetujui usulan Gajah Meram. Baginda Raja
memahkotai dan menobatkan Gajah Merik menjadi seorang Raja. Kemudian, Gajah
Merik menunjuk Raja ular yang telah dikalahkannya dan para pengawal nya menjadi
hulubalang kerajaan.
Kisah heroik Gajah Merik bertempur dengan Raja ular melahirkan
legenda tentang ular raksasa berkepala tujuh sebagai penunggu Danau Tes.
Referensi : https://www.kabarkitobengkulu.com/
0 Komentar