Setiap anggota tubuh
diciptakan untuk suatu fungsi tertentu. Maka ia disebut sedang dalam keadaan
sakit apabila
tak lagi memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsinya itu, baik secara keseluruhan
ataupun sebagiannya saja.
Penyakit tangan menyebabkan
tangan tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu memegang. Sedangkan penyakit
mata menyebabkan mata tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu melihat.
Demikian pula penyakit
hati, menyebabkan hati tak mampu melakukan fungsinya yang khas, yang memang itu
diciptakan untuknya. Yaitu, pengetahuan, hikmah, ma’rifah, cinta kepada Allah,
beribadah untuk dan kepada-Nya, merasakan kenikmatan apabila menyebut atau
mengingat-Nya, mengutamakan-Nya di atas segala keinginan selain-Nya, serta
mengerahkan semua dorongan jiwa dan anggota tubuh demi melaksanakan semua itu.
Firman Allah SWT :
![]() |
Picture By https://muslim.or.id/ |
B A B II
PEMBAHASAN
Penyakit
Hati dan Cara Mengobatinya
Hati yang dalam bahasa Arab
berarti Qalbun adalah bagian yang sangat penting pada manusia. Jika hati kita
baik, maka baik pula seluruh amal kita:
Rasulullah saw. bersabda,
“….Bahwa dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik
maka baik pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula
seluruh perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam
Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang
dalam hatinya ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan akan mati dalam
keadaan kafir.
Artinya “Orang-orang
yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah
kekafiran mereka, disamping kekafirannya yang telah ada dan mereka mati dalam
keadaan kafir.” [At Taubah 125]
Oleh
karena itu penyakit hati jauh lebih berbahaya daripada penyakit fisik, maka
kita perlu mengenal beberapa penyakit hati yang berbahaya serta bagaimana cara
menyembuhkannya.
1. Sombong
Sering orang karena
jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap
rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah
Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia
yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk
menjadi sombong:
Artinya “Janganlah kamu
berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi
gunung.” [Al Israa’ 37]
Artinya“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah
menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
Artinya “Masuklah kamu
ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah
seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong
karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya
kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya.
Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa. Begitu pula
saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur
dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan
zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab
Ihya’ ‘Ulumuddin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya
manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan
tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada
kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina.
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat
hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana
mungkin kita masih bersikap sombong?
2. Dusta
Adapun
Al-Kadzib (kebohongan), maka perbuatan ini akan mengantarkan pada kejahatan,
yaitu berpalingnya dari sifat istiqamah. Ada juga yang mengatakan bahwa
kebohongan adalah kemaksiatan yang paling cepat menyebar. Tentang tercelanya membicarakan
segala sesuatu yang ia dengar, Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang
dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar”.
(HR. Muslim 1/10)
Abdullah
bin ‘Amr berkata, “Rasulullah pernah datang ke rumah
kami, waktu itu aku masih kecil, akupun keluar utk bermain. Ibuku kemudian
memanggil, “Ya Abdullah kemari, nanti akan ibu beri sesuatu”. Maka Rasulullah
bertanya: “Apa yang akan kamu berikan?” Dia mejawab, “Saya akan memberi
kurma”. Rasulullah kemudian bersabda, “Seandainya engkau tak melakukan
(apa yang engkau katakan), berarti telah dicatat atasmu satu kedustaan.”
(HR. Abu Daud no. 4991)
Faktor pendorong berbuat dusta :
Motif
yang mendorong orang-orang yang memiliki jiwa nista untuk melakukan kedustaan
cukup banyak, diantaranya adalah :
1.
Sedikitnya
rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tidak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala
selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar.
2.
Upaya
mengaburkan fakta, baik bertujuan utk mendapatkan keuntungan atau mengurangi
takaran, dgn maksud menyombongkan diri atau utk memperoleh keuntungan dunia,
ataupun karena motif-motif lainnya. Misalnya saja: orang yang berdusta tentang
harga beli tanah atau mobil, atau menyamarkan data-data yang tidak akurat
tentang wanita yang akan dipinang yang dilakukan pihak keluarganya.
3.
Mencari
perhatian dgn membawakan cerita-cerita fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
4.
Tidak
adanya rasa tanggung jawab dan berusaha lari dari kenyataan, baik dlm kondisi
sulit ataupun kondisi lainnya.
5.
Terbiasa
melakukan dusta sejak kecil. Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk.
Karena, sejak tumbuh kuku-kukunya (sejak kecil), sang anak biasa melihat ayah
dan ibundanya berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dlm lingkungan sosial
semacam itu.
6.
Merasa
bangga dgn berdusta, ia beranggapan bahwa kedustaan menandakan kepiawaian,
tingginya daya nalar, dan perilaku yang baik.
3. ‘Ujub (kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong.
Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita
tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah. Jika kita
mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan
“Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.
Berhati-hatilah dengan penyakit ujub, sebab jika sudah menjangkit kedalam hati hanya akan menimbulkan keburukan. Ujub merusak dan menghancurkan amal kebaikan. Rasulullah SAW bersabda:
Artinya
: Tiga perkara yang dapat menghancurkan, yaitu : kebakhilan yang
ditaati, hawa nafsu yang dituruti dan ujub seseorang terhadap dirinya.
Mula-mula ujub itu hanya
berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia, paling
segala-galanya dan paling sempurna dibandingkan orang lain. Karena dengan
anggapan yang demikian itu maka hatinya merasa puas dan bangga atas apa yang
dirasa. Kemudian berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan
tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang
demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang
telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal,
maka tepatlah kiranya jika ujub ini adalah pangkal kemaksiatan, kelalaian dan
kesenangan nafsu untuk merasa puas kepada dirinya, sedangkan orang yang merasa
puas dengan dirinya sendiri karena menganggap sempurna, maka dia akan buta
dengan kelemahan-kelemahan yang dia miliki.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa
faktor penyebab keselamatan manusia itu ada dua perkara, yaitu bertaqwa dan
menanamkan niat yang sungguh-sungguh. Seangkan faktor penyebab kecelakaan atau
kebinasaan juga dua perkara, yaitu putus asa dan membanggakan diri.
Bahaya ujub sebagaimana riya’ merupakan syirik kecil, demikian pula ujub merupakan syirik kecil juga. Riya’ merupakan syirik dari sisi orang yang beramal saleh menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari ganjaran berupa pujian dan sanjungan, sedangkan ujub merupakan kesyirikan dari sisi orang yang beramal saleh menyertakan dirinya bersama Allah dalam keberhasilanya beramal saleh, seakan-akan bukan allah semata yang menjadikanya berhasil beramal saleh akan tetapi ia juga turut andil dalam keberhasilanya beramal saleh.
Artinya : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi-ngulanginya (*ujub !, ujub !) sebagai tambahan (penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan dalam mengingatkan (*umatnya). Hal ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang ujub maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit baginya untuk bertaubat" (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami' as-Shoghiir 2/606)
Tanda-tanda terjangkit
penyakit ujub :
Menurut
Almunaawi Assyafi’i menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang ujub
adalah :
1.
Dia
merasa heran jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah. Dia merasa bahwa
ketaqwaanya dan amalanya mengharuskan doanya dikabulkan oleh Allah hal
ini menunjukkan ujubnya dengan amalan saleh karenanya tatkala doanya tidak
dikabulkan merasa heran.
2.
Jika
orang yang mengganggunya ditimpa musibah, maka dia merasa bahwa itu merupakan
karomahnya.
Untuk
mengobati penyakit ujub, diantaranya sebagai berikut :
1.
Menyadari
bahwasanya mampunya kita beramal sholeh adalah semata-mata kemudahan dan
karunia dari Allah, firman allah :
Artinya “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah- langkah syaitan. Barangsiapa
yang mengikuti langkah-langkah syaitan, Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh
mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena
kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari
kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui.” [An-Nuur : 21]
4. Iri dan Dengki
Allah
melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai
dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
Artinya“Dan
janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian
kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada
bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’
32]
Iri
hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu. “Tidak ada iri
hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu
dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan
kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jika
kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan
agar yang bersangkutan dilimpahi berkah. “Apabila seorang melihat dirinya,
harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka
hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri
adalah benar.” (HR. Abu Ya’la)
Dengki
lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang
lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha
mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun
perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang
yang dengki:
Artinya “Dan
dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian
bisa menghancurkan pahala-pahala kita. “Waspadalah terhadap hasud (iri dan
dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan
kayu.” (HR. Abu Dawud)
5. Riya’
Riya’ adalah berbuat
kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang mengira dan
memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa,
sedekah, dan sebagainya.
Ciri-ciri riya:
“Orang yang riya berciri
tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas,
dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik
ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati,
dan bila diamanati dia berkhianat.” (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal perbuatannya sia-sia belaka.
Artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia.” [QS. Al-Baqarah: 264]
"Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya.” [Al Maa’uun 4-6]
Imam Al Ghazali
mengumpamakan orang yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya
berdua saja dengan rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia
bekerja dan berbuat baik untuk mendapat pujian dari budak-budak tersebut.
Seperti itulah orang riya’. Ketika hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para budak. Agar terhindar dari riya’, kita harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
6. Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias
Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta
sehingga tidak mau bersedekah.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan
di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal segala harta kita
termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya
apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa
kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang
kita simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada
gunanya bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup
bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
“Dan adapun orang-orang
yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka
kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang
bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di
jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya
adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
B A B III
KESIMPULAN
Penyakit hati merupakan
penyakit di dalam jiwa yang lebih parah dari penyakit fisik. Karena bilamana
hati seseorang sakit, atau bahkan buruk, maka perilakunya pun demikian.
Contoh-contoh penyakit hati seperti :
1.
Sombong
: memamerkan apa yang dia punya padahal sesungguhnya semua yang ada di dunia
ini hanya milik Allah.
2.
Dusta
: kebohonganlah yang akan membawa seseorang pada kejahatan.
3.
‘Ujub
: mula-mula ujub itu hanya berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya
paling mulia, kemudian berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan
tentang pandangan manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang
demikian ini sangat dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang
telah di jangkiti penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal.
4.
Iri
dan dengki : iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
5.
Riya’
: berbuat kebaikan/ibadah dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang
mengira dan memujinya sebagai orang yang baik atau gemar beribadah seperti
shalat, puasa, sedekah, dan sebagainya.
6. Bakhil dan kikir : satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Imam. Bahaya Penyakit Hati. Surabaya : Tiga Dua, 1994, cetakan
kedua.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Tahdzib
Al-akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-qulub.Bandung : Penerbit Karisma, 1999.
0 Komentar