PUNYA LEMBAK - Danau Tes merupakan danau terbesar di Provinsi Bengkulu, yang terbentang di antara Dusun Kutei Donok dan Tes, Kecamatan Lebong Selatan, Kabupaten Lebong. Danau yang memiliki panorama indah ini sangat melegenda di kalangan masyarakat Lebong, Bengkulu. Konon, Danau Tes ini dulunya merupakan aliran Sungai Air Ketahun. Namun, karena terjadi suatu peristiwa, aliran itu berubah menjadi danau. Peristiwa apakah sebenarnya yang terjadi hingga menyebabkan aliran Sungai Air Ketahun tersebut berubah menjadi danau? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Tes berikut ini!
![]() |
Picture By https://www.bengkulutoday.com/ |
Alkisah, di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah
Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang
anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si
Lidah Pahit atau yang lebih dikenal dengan sebutan SI PAHIT LIDAH. Ia dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar
biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia
tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya.
Pada suatu hari, si Lidah Pahit (Si Pahit Lidah) berniat untuk
membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih
“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak
pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah
Pahit kepada anaknya.
Baca Juga : 7 Suku Asli Provinsi Bengkulu
“Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah
Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di
daerah
Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit
telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar. Bagi
masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan
persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu
minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang
hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.
Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke
Baten Kawuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat.
Ia tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat
dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu.
Namun, tanpa disadari oleh si Lidah Pahit,
para ketua adat dan pemuka masyarakat di kampungnya sedang membicarakan
dirinya. Mereka membicarakan tentang pekerjaannya yang selalu membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air sungai itu
tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang paling besar adalah jika
si Lidah Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan
menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok
akan tenggelam.
Melihat kondisi itu, ketua adat bersama
tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok lainnya segera bermusyawarah untuk mencari
alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam
bermusyawarah, mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan
pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan
alasan itu kepada si Lidah Pahit.
Sesampainya di tempat si Lidah Pahit bekerja,
mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik mencangkul.
Baca Juga : Sejarah Tari Turak
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari
untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan.
“Berita duka apa yang kalian bawa untukku?”
tanya si Lidah Pahit.
“Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal
dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,”
jelas seorang utusan lainnya.
“Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit
dengan penuh keyakinan.
Beberapa kali para utusan tersebut berusaha
untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya,
mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil.
“Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si
Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua
adat.
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya
dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar keterangan itu, ketua adat segera
menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si
Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah
mati. Ia terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air
Ketahun.
Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat
bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung
alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si
Lidah Pahit di tempat kerjanya.
“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah
meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit.
Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan
pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.
“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang
datang menyampaikan berita ini, maka saya sekarang percaya kalau anak saya
telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan
kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat.
“Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan
saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.
Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta
rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan
itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia
yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi
meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya
pun benar-benar telah meninggal dunia.
Baca Juga : Asal Usul, Bahasa, Tradisi, dan Ciri Fisik Suku Rejang
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi
bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan
perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya.
Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke
Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia.
Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.
Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah
Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah
danau besar yang diberi nama Danau Tes.
Demikian cerita Asal Mula Danau Tes dari
Provinsi Bengkulu. Hingga kini, Danau Tes menjadi sumber mata pencaharian
penduduk Kota Donok dan airnya telah dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik
Tenaga Air (PLTA).
Cerita di atas termasuk ke dalam kategori
legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di
atas adalah keburukan sifat mudah percaya pada omongan orang-orang yang
berpangkat atau penguasa, karena tidak selamanya ucapan seorang penguasa selalu
benar. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku si Lidah Pahit yang mudah
percaya dengan laporan ketua adat di kampungnya, sehingga mengakibatkan anak
kesayangannya meninggal dunia.
Isi cerita diadaptasi dari Naim Emel Prahana. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2.
0 Komentar